Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Minggu, 28 Juli 2013

KEBOHONGAN SALAFY / WAHABY




MEMBONGKAR KEDUSTAAN SALAFY – WAHABI ATAS PUJIAN ULAMA KEPADA MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB
Orang-orang wahabi salafi mengaku bahwa banyak para ulama dunia yang memuji dakwah syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, benarkah hal itu ? siapa saja kah para ulama yang telah memuji Muhammad bin Abdul Wahhab ?
Ternyata ulama-ulama yang mereka klaim sebagai Ulama dunia tidak ada lain hanya berputar dari kalangan keluarga dan murid-murdi Muhammad bin Abdul Wahhab saja. Bahkan mereka berani berdusta atas nama ulama Ahlus sunnah waljama’ah di antaranya imam Ash-Shon’aani padahal beliau mencela Muhammad bin Abdul wahhab. Juga
Demi mendapat dukungan dari umat dan menutup-nutupi sejarah kelam Muhammad bin Abdul wahhab serta kesesatan dakwahnya, maka para pentaqlid butanya membuat sebuah judul “ Para ulama dunia memuji dakwah syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab “, mereka mnyebutkan nama-nama para ulama yang memuji Muhammad bin Abdul Wahhab.
Nah siapakah sebenarnya para ulama tsb yang mereka klaim Ulama dunia yang telah memuji-muji dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab ? Tidak lain pembela-pembela Muhammad bin Abdul Wahhab, hanya berputar dari kalangan anak-anaknya, cucunya, murdi dan kerabatnya saja. Simak penjelasan berikut ini..!
Wahhabi Salafi berkata “ Di antara para ulama yang membela dan emuji dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab adalah :
1. Ahmad bin Mani’ .
Bantahan : Siapakah Ahmad bin Mani’ ? tidak ada lain nama lengkapnya adalah Ahmad bin Mani’ bin Ibrahim bin mani’. Dia adalah salah satu murid Muhammad bin Abdul wahhab wafat tahun 1186 H. Lihat profilnya dalam kitab Ulama Najd juz 1 halaman 504.
2. Muhammad bin Ghoihab dan Muhammad bin ‘Idan yang telah mengarang sebuah risalah / buku kecil yang ditujukan kpd syaikh Abdullah Al-Muis (aswaja) menasehati agar kembali kpd ajaran Tauhid Muhamamd bin Abdul Wahhab.
Bantahan : Muhammad bin Ghoihab adalah murid Muhammad bin Abdul Wahhab demikian juga Muhammad bin ‘idan.
Dan kita tanyakan kpd mereka “ Apa judul risalah tsb dan di mana keberadaan risalah tsb ?”
3. Hamd bin Mu’ammar dan Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab, kedua ulama tsb telah mengarang sebuah kitab “ At-Taudhiih ‘an Tauhidil khollaq fii jawabi ahlil Iraq “.
Bantahan : Hamd bin Mu’ammar adalah murid Muhammad bin Adbul wahhab. Dan Abdullah adalah putra Muhammad bin Abdul wahhab.
4. Al-Allamah syaikh Husain bin ghonnam Al-Ihsaai pengarang kitab tarikh Najd. Seorg ahli ilmu Nahwu dan arudh.
Bantahan : Dia telah menjdi murid Muhammad bin Abdul wahhab, dan tidaklah mengarang kitab tarikh Najd terkecuali menambah wawasan akan kedzaliman dan sejarah kelam Muhammad bin Abdul wahhab.
Di antara isinya adalah di halaman 97, disebutkan bahwa Syaikh Husain menukil dari sbagian risalah gurunya Muhammad bin Abdul Wahhab sbgai berikut : “
Muhammad bin Abdul wahhab bercerita “ Sesungguhnya Utsman bin Mu’ammar adalah seorg hakim negeri Uyainah dia adlah musyrik dan kafir. Setelah orang-orang mengetahui kekufurannya, maka mereka berencana membunuhnya. Setelah selesai sholat jum’at. Dan kami membunuhnya di tempat sholatnya di dalam masjid bulan Rajab tahun 1163 H “.
Lihatlah Muhammad bin Abdul wahhab dengan bangga menceritakan pembunuhannya terhadap Utsman bin Mu’ammar yg vonis kafir di dalam masjdi rumah Allah Swt ??? dan dengan percaya diri, muridnya tsb mnceritakan kembali dalam kitab Tarikh Najdnya.
5. Al-Allamah Hamd bin Nashir bin Utsman bin Mu’ammar, dia telah mengarang banyak bantahan di angtaranya : Kitab “ An-Nubdzah Asy-Syarifah An-Nafisah fi r Radd ‘alal quburiyyin “, At-Tuhfah Al-Madaniyyah fil Aqidah As-Salafiyyah “..
Bantahan : Hamd ini adalah murid Muhammad bin Abdul wahhab dan kakeknya yaitu Utsman bin Mu’ammar telah dibunuh oleh gurunya tsb yaitu setelah selesai sholat jum’at dan masih berada dalam tempat sholatnya di masjid.
6. Abdullah bin Muhamad bin Abdul Wahhab.
Bantahan ; Dia adalah putra Muhamamd bin Abdul Wahhab, namanya sering diulang-ulang penyebutannya dalam jajaran ulama yang memuji Muhammad bin Abdul Wahhab. Dan dia telah menghalalkan darah dan harta dgn jalan mencuri atau merampok kpd org yg tdk mengikuti paham ayahnya.
7. Syaikh Abdul Aziz bin Hamd.
Bantahan : Dia adalah cucu Muhammad bin Abdul wahhab.
8. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman abu Bathin.
Bantahan ; Dia adalah salah satu murid Abdullah putra Muhammad bin Abdul wahhab.
9. Al-Allamah syaikh Abdurrahman bin Hasan Alus syaikh.
Bantahan ; dia adalah salah satu cicit muhamamd bin Abdul wahhab.
10. Syaikh Abdurahman bin Muhammad bin Mani’. Dia telah mengarang qosidah di dalam memuji Muhammad bin Abdul Wahhab.
Banthan : dia adalah salah satu murid dari cucu Muhammad bin Abdull wahhab yaitu Abdurrahman bin Hasan.
11. Al-Allamah syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan.
Bantahan : Dia putra dari cucu Muhamamd bin Abdul wahhab.
12. syaikh Abdul Aziz bin Hasan Al-Fadhli .
Bantahan ; Dia adalah salah satu murdi cucu Muhammad bin Abdul wahhab yaitu Abdurrahman bin hasan.
13. Syaikh Sholeh bin Muhammad Asy-Syatsri, yang telah mengarang kitab abntahan kpd syaikh Ahmad Dahlan dengan judul “ Ta’yidul Malikil Mannan fi Naqdhi dholalati Dahlan “.
Bantahan : dia adalah dia belajar kepada Abdurrahman bin hasan cucu dr Muhammad bin Abdul wahhab.
14. Al-Allamah syaikh Ishaq bin Abdurrahman bin hasan.
Bantahan : Dia adalah putra dari Abdurrahman bin Hasan cucu dari Muhammad bin Abdul wahhab.
15. Al-Allamah syaikh Hamd bin Ali bin Muhamad bin Atiq.
Bantahan : Termasuk murid khusus yang selalu mengikuti majlis Abdurrahman bin hasan.
16. Al-Allamah syaikh Husain bin Hasan bin Husain bin Ali bin Husain bin Muhammad bin Abdul wahhab.
Bantahan : Telah jelas dr keturunan Muhammad bin Abdul wahhab.
17. Al-Allamah syaikh Abdurrahman bin Abdul Lathif Aalus syaikh.
Bantahan : juga keturunan Muhammad bin Abdul wahhab.
18. Al-Allamah syaikh Ahmad bin Ibrahim bin Isa.
Bantahan : Murid dari salah satu murid cucu Muhammad bin Abdul wahhab yaitu Abu Bathin.
19. Al-Allamah syaikh Nashir bin su’ud asy-syuwaimi.
Bantahan : murdi dari cucu Muhammad bin Abdul wahhab yaitu Abdullah bin Abdul Lathif.
20. Wahbah Az-Zuaili Ad-Dimasyqi.
Bantahan : Beliau bukan pembela Muhammad bin Abdul wahhab. Justru beliau adalah seorg asy’ari dan mencintai ilmu tasawwuf. Bahkan beliau memuji kitab Burdah karya imam Bushiri.
21. Doktor Muhammad Ahmad Darniiqoh, telah mengarang kitab “ Syaikh Muhamamd bin Abdul wahhab Raaid ad-dakwah as-salafiyyah “.
Bantahan : Jika mereka mengklaim doctor Muhammad Ahmad adalah pembela Muhammad bin Abdul wahhab, maka seharusnya mereka juga mau menerima karya beliau yang berjudul “ A-th-Thoriqah An-Naqsyabandiyyah wa ‘alaamuha ‘. Buku mnjelaskan ajaran tariqat naqsyabandiyyah dan beliau pun memuji tariqat ini.
22. Imam Ash-shon’aani al-Yamani.
Bantahan : Beliau memang awalnya sempat memuji dakwah Muhammad bin Abdul wahhab, shingga belaiu membuat syair pujian berikut :
سلام على نجد ومن حل في نجد : وإن كان تسليمي على البعد لا يجدي
Salamku untuk Najd dan siapa saja yang tinggal sana
Walaupun salamku dari kejauhan belum mencukupinya.
Lama tak mendapat jawaban, hingga bebrapa orng dan ulama Najd mendatangi beliau dan menceritakan hakekat ajaran Muhammad bin Abdul wahhab, maka beliau meruju’ / mencabut kembali pujiannya itu. Padahal qosidah beliau telah menyebar ke sluruh negri.
Akhirnya beliau mencabut pujianya itu dan membuat pujian tentang ruju’nya beliau dr pujian kpd Muhammad bin Abdul wahhab. Dan membuat syarahnya di dalam kitabnya “ Irsyadu Dzail albab ila haqiqati aqwal Ibn Abdil Wahhab “.
Qosdidah ruju’ beliau sangat terkenal di kalangan santri Yaman, di antra bait ruju’ beliau adalah :
رجعت عن القول الذي قلت في النجدي :::::: فقد صح لي فيه خلاف الذي عندي
ظننت به خيرا وقلت عسى عسى ::::::::: نجد ناصحا يهدي الأنام ويستهدي
فقد خاب فيه الظن لا خاب نصحنا ::::::::: وما كل ظن للحقائق لي مهدي
وقد جاءنا من أرضه الشيخ مربد :::::::::: فحقق من أحواله كل ما يبدي
وقد جاء من تأليفه برسائل :::::::::::::: يكفر أهل الأرض فيها على عمد
ولفق في تكفيرهم كل حجة :::::::::::::: تراها كبيت العنكبوت لمن يهدي
تجارى على إجرا دما كل مسلم ::::::::::::: مصل مزك لا يحول عن العهد
وقد جاءنا عن ربنا في ( براءة ) ::::::::::::: براءتهم عن كل كفر وعن جحد
وإخواننا سماهم الله فاستمع :::::::::::::: لقول الإله الواحد الصمد الفرد
وقد قال خير المرسلين نهيت عن ::::::::::::: فما باله لا ينتهي الرجل النجدي
وقال لهم : لا ما أقاموا الصلاة في ::::::::::::: أناس أتوا كل القبائح عن قصد
أبن لي ، أبن لي لم سفكت دماءهم ؟ :::::::: ولم ذا نهبت المال قصدا على عمد ؟
وقد عصموا هذا وهذا بقول لا :::::::::::::: إله سوى الله المهيمن ذي المجد
“ Aku menarik kembali pujianku terhadap Muhammad bin Abdul wahhab An-Najdi
Sungguh telah benar kekliruan pujiannku terhdapnya.
Aku mnyangkka baik padanya, dan aku berdoa semoga, semoga Najd kita member petunjuk pada manusia.
Tapi persangkaanku salah, bukan nasehatku yg salah. Telah dating kepadaku dari Najd syaikh Marbad.
Dan mnjlskan hakekat ajaran muhammad An-Najdi.
Di dalm kitab-kitabnya ia telah banyak emgkafirkan penduduk bumi dengan sengaja.
Dan seterurnya…
Catatan :
Lihatlah, bagaimana wahhabiyyah mengelabui umat Islam dalam tipu dayanya menulis nama-nama para ulama islam sedunia yang memuji dan mendukung ajaran Muhammad bin Abdul wahhab, padahal setelah dikroscek ternyata ulama-ulama tsb adfalah hanya dari kalangan keluarga, putra, cucu dan murid Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri.
Manakah para ulama Islam sezamannya yang memuji Muhammad bin Abdul Wahhab ???
Tidak adakah ulama selain dr kalangan keluarga dan murid Muhammad bin Abdul wahhab yang membela ajarannya???
Sedangkan para ulama besar dari smua kalangan madzhab telah membantah dan mencela ajaran Muhammad bin Abdul wahhab, ratusan ulama yang hidup semasa dengan Muhamamd bin Abdul wahhab bahkan dari saudaranya sndiri yaitu syaikh Sulaiman bin Abdul wahhab yang lebih memahami karakter suadaranya itu dan lebih alim telah mencela dan membuat bantahan kpd saudaranya tsb Muhammad bin Abdul wahhab. Belum lagi ribuan ulama setelahnya yang mencela dan tidak mendukung ajaran Muhamamd bin Abdul Wahhab.
(Ibnu Abdillah Al-Katibiy)
Di ambil dari : http://generasisalaf.wordpress.com

Rabu, 23 November 2011




Menyenangkan rasanya jika tulisan tulisan kita bisa kita ubah menjadi file pdf,buat yg mau merubah file berformat word menjadi pdf download shoftwarenya disini. MONGGO KANG

Senin, 21 November 2011

DEBAT NU VS WAHABY





buat teman teman yang ingin buku pintar berdebat dengan wahaby silahkan klik gambar di bawah ini.

Minggu, 20 November 2011

اذا صحّ الحديث فهو مذ هبي




Ucapan Al Imam As Syafi'i ra اذا صحّ الحديث فهو مذ هبي  Sangatlah Masyhur, namun kendati demikian tidak sedikit diantara kita yang salah dalam memahaminya,nah bagi teman teman yang ingin lbih dalam memahami ucapan beliau ini silahkan klik gambar di bawah ini.




Dan bagi teman teman yang ingin tahu lebih dalam tentang karomah para Aulia Allah,coba klik gambar di bawah ini



Selamat Membaca Semoga Bermanfa'at.

Minggu, 03 Juli 2011

MENAMBAH KATA SAYYIDINA KETIKA MENYEBUT NAMA NABI MUHAMMAD SAW


 

إنّ إطلاق السيادة على سيّدنا محمّد صلّى الله عليه وآله وسلّم من الأمور التي ينبغي على المسلم فعلها، فكيف لا يكون رسول الله صلّى الله عليه وآله وسلّم سيّدًا، وقد وصف الله تعالى من هو أقلّ منه بالسيادة، من ذلك ذكر قول الله عز وجل عن سيدنا يحيى عليه الصلاة والسلام (سيد) حيث قال;أن الله يبشرك بيحيى مصدقا بكلمة من الله وسيدا وحصورا  أفيصح إطلاق لفظ [السيد] على سيدنا يحيى عليه الصلاة والسلام دون سيدنا محمد صلى الله عليه وآله وسلم، وفضله عليه وعلى بقية الأنبياء وسائر المخلوقات معلومٌ من الدين بالضرورة؟!.
كما أنّ القرءان قد أطلق لفظ السيادة على من هو دون الأنبياء في الرتبة، بل على من قيل عنه إنّه كان كافرًا، ألا وهو عزيز مصر، فقال عنه حينما أراد يوسف أن يخرج من ذلك المكان الذي راودته فيه امرأة العزيز هاربًا منها: وألفيا سيّدها لدى الباب، أفيكون ذلك العزيز سيّدًا بنصّ كتاب الله تعالى؛ لأنّه ساد قومه، ولا يكون سيّد الخلق كلّهم سيّدًا؟!!
على أننا لو نظرنا إلى عموم الآيات لوجدناها داعية إلى احترامه وتقديره عليه الصلاة والسلام منها قوله تعالى:; وتعزّروه وتوقّروه;، ولا يكون توقيره صلّى الله عليه وآله وسلّم بذكر اسمه مجرّدًا قطعًا.
ومنها قوله جل جلاله:;لا تجعلوا دعاء الرسول بينكم كدعاء بعضكم بعضاً وهذا أمر منه جل جلاله، ولئن لم يكن الأمر للوجوب فلا أقلّ من أن يكون للندب، وما تسويده صلى الله عليه وآله وسلم إلا ضربٌ من أضربِ احترامِهِ وتقديره.
وقد قال الضحاك عن ابن عباس رضي الله عنهما: كانوا يقولون: (يا محمد، يا أبا القاسم) فنهاهم الله عز وجل عن ذلك؛ إعظاماً لنبيّه صلى الله عليه وآله وسلم.
وكذلك قال مجاهد وسعيد بن جبير، وقال قتادة: أمر الله تعالى أن يُهابَ نبيُّهُ صلّى الله عليه وآله وسلم وأن يُجلّ ويُعظّم وأن يُسوّد. أي يقال: سيد.
وقال مقاتل، ومثلُهُ مالكٌ عن زيدِ بنِ أسلمٍ: (أمَرَهُمْ أن يُشرِّفُوه.
وأما ما ورد من الأحاديث فهي كثيرةٌ، وها هو صلى الله عليه وآله وسلم يُطلق على نفسه لفظ السيادة في الدنيا، وينبئ عن سيادته يوم القيامة بشكل ظاهر جليّ، لا يقبل التأويل ولا التبديل فيما نُقل عنه:
1- فعن سيدنا أبو هريرة رضي الله عنه قائلاً: قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم أنا سيد ولد آدم يوم القيامة وفي رواية عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه بزيادة: ولا فخر.
وفي رواية للبيهقي : أنا سيد العالمين.
وفي رواية عن سيدنا أبي هريرة رضي الله عنه : «أنا سيد الناس يوم القيامة.
2-
وعن سيدنا سهل بن حنيف رضي الله عنه قال: مررنا بسيل فدخلت فاغتسلت فيه فخرجت محموماً، فنمي ذلك إلى رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم، فقال: (لا رقى إلا في نفس أو حمّة أو لدغة)، فقال له سهل: (يا سيدي والرقى نافعة؟
فقد ناداه سيدنا سهل بلفظ: (يا سيدي) ولم يُنكر عليه سيّدنا محمد صلى الله عليه وآله وسلم، وهذا دليل الإقرار، وحاشا رسولَ الله صلى الله عليه وآله وسلم أن يُقرّ أصحابه على ما فيه مخالفةٌ شرعيّةٌ.
3-
هذا وقد صحّ إطلاقه صلى الله عليه وآله وسلم لفظ السيادة على عدد من أصحابه وأتباعه، فمن ذلك ما روته سيّدتنا عائشة رضي الله عنها في قصّة مجيء سعد بن معاذ ليحكم في بني قريظة قالت: قال صلى الله عليه وآله وسلم: «قوموا إلى سيدكم فأنزلوه.
قال الخطّابيّ في شرح هذا الحديث: وفيه من العلم أنّ قول الرجل لصاحبه: يا سيدي غير محظور، إذا كان خيّراً فاضلاً، وإنّما جاءت الكراهة في تسويد الرجل الفاجر.
وفي رواية عن سيدنا أبي سعيد الخدري رضي الله عنه: قوموا لسيدكم من غير لفظة أنزلوه وهذا القيام كان تعظيماً لسيّدنا سعد رضي الله عنه، ولم يكن من أجل كونه مريضاً أو كبيرا في السنّ مثلاً، وإلاّ قال: قوموا إلى مريضكم أو إلى كبيركم، ولم يقُل إلى سيدكم.
4-
وعن سيدنا أبي بكرة رضي الله عنه، قال:(رأيت رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم على المنبر، والحسن بن عليّ على جنبه، وهو يُقبِلُ على الناس مرّةً وعليه أخرى، ويقول: إن ابني هذا سيّد، ولعلّ اللهَ يصلحُ به بين فئتين عظيمتين من المسلمين.
5-
وقال سيدنا عمر بن الخطاب رضي الله عنه: أبو بكر سيّدُنا وأعتق سيّدَنا، يعني: بلالاً.
وقال سيّدنا عمر لسيدنا أبي بكر يوم البيعة: بل نبايعك أنت، فأنت سيدُنا وخيرُنا وأحبُّنا إلى رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم، فأخذ بيده وبايعه الناس
6-
وورد في صحيح مسلم أنّ السيدة أمّ الدرداء كانت تقول: أخبرني سيدي أبو الدرداء أنّه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم: (دعاء الأخ لأخيه بظهر الغيب مستجاب.
7-
وقال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم: (الحسن والحسين سيدا شباب أهل الجنة
8-
وقال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم: (أبو بكر وعمر سيّدا كهول أهل الجنة من الأولين والآخرين إلا النبيين والمرسلين.
9-
وقال سيدنا محمد صلى الله عليه وآله وسلم: (الحليم سيّد في الدنيا وسيد في الآخرة.
10-
وقال صلى الله عليه وآله وسلم للسيدة الكريمة فاطمة الزهراء رضي الله عنها: (أما ترضين أن تكوني سيدة نساء الجنة.
11قال المقبري: كنّا مع أبي هريرة رضي الله عنه فجاء الحسن بن علي رضي الله عنهما فسلّم، فردّ عليه القوم ومضى، ومعنا أبو هريرة لا يعلم فقيل له: هذا حسن بن علي يُسلّم فلحقه فقال: وعليك يا سيّدي، فقيل له: تقول : يا سيّد؟ فقال: أشهد أنّ رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم قال: (إنه سيد
وحيث أطلق صلى الله عليه وآله وسلم لفظ السيّد على السيدة فاطمة وعلى سيدنا سعد وسيدنا الحسن والحسين رضي الله عنهما وسيدنا أبو بكر وسيدنا عمر وعلى الحليم مطلقاً؛ فإطلاقنا إياها عليه صلى الله عليه وآله وسلم أحقّ وأولى.
ولِـمَا مرّ من الأدلة قال جمهور المتأخرين من علماء أهل السنة والجماعة بجواز إطلاق لفظ السيادة على سيدنا محمد صلى الله عليه وآله وسلم، بل قال بعضهم: إنّه مندوب، وحيث لم يأت ما يُخصّص هذه الأدلة والنصوص أو يقيّدها فإنها تبقى على عمومها وإطلاقها، فتشمل جميع الأوقات من صلاة وغيرها.
وها هو الإمام الفقيه ابن عابدين رضي الله عنه يقول في حاشيته موافقةً لصاحب الدرّ وابن ظهيرة والرمليّ الشافعيّ في شرحه على منهاج النوويّ وغيرهم من العلماء قال: والأفضل الإتيان بلفظ السيادة.
وورد في كتاب الأذكار للإمام النوويّ رحمه الله تعالى في صفحة (4) وروينا عن السيد الجليل أبي علي الفضيل بن عياض رحمه الله قال: ترك العمل لأجل الناس رياء والعمل لأجل الناس شرك والإخلاص أن يعافيك الله منهما.
الشاهد: حقق هذا الكتاب وخرج أحاديثه عبدالقادر أرناؤوط: في أسفل ص 4 رقم (2) حيث يقول: (2) فيه إطلاق السيد على غير الله تعالى وهو جائز، وقيل بكراهته إذا كان بأل، وهذا دليل على جواز إطلاق السيد على غير الله تعالى، وهذا ما أقرّه الشيخ عبدالقادر أرناؤوط في كتاب الأذكار طبعة 1971 دار الملاّح.
ويستحبّ أن يقول المصلي في التشهد وفي الصلاة الإبراهيمية (سيدنا) قبل ذكر اسم سيدنا محمد صلى الله عليه وآله وسلم ونقول في الصلاة الإبراهيمية لفظ سيدنا ذلك: لأنّ السنة لا تُؤخَذُ من فعله صلى الله عليه وآله وسلم فقط، بل تؤخذ أيضا من قوله، وقد ثبتت السيادة بأحاديث كثيرة من سنة سيدنا محمد صلى الله عليه وآله وسلم، وقد ناداه الصحابي الجليل ابن مسعود في صيغة الصلاة، حيث قال: (إذا صليتم على رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم فأحسنوا الصلاة عليه، فإنكم لا تدرون لعلّ ذلك يُعرض عليه، قال: فقالوا له: فعلّمنا. قال، قولوا: اللهم اجعل صلاتك ورحمتك وبركاتك على سيّد المرسلين وإمام المتّقين وخاتم النبيين محمّد عبدك ورسولك ...) الخ.
واستدلّ به على جواز إحداث ذكر في الصلاة غير مأثور إذا كان غير مخالف للمأثور.
وقد جاء في الدر المختار ورد المحتار ما ملخصه : وندب السيادة؛ لأنّ زيادة الإخبار الواقع هو عين سلوك الأدب، فهو أفضل من تركه. ذكره الرمليّ الشافعيّ، أي: في شرحه على منهاج النوويّ، وذكر ذلك غيره أيضاً. أهـ.
وزيادة لفظ (سيدنا) فيها تأدب معه صلى الله عليه وآله وسلم والله تعالى يقول:;فالذين آمنوا به وعزروه ونصروه واتبعوا النور الذي أنزل معه أولئك هم المفلحون
والتعزير: التوقير والتعظيم
فإثباتها مع ورودها في السنة موافق للقرآن الكريم.
واستدل قوم على ذلك أيضا بأن التأدب خير من الامتثال وهو استدلال حسن ودلائله من السنة ثابتة في البخاري ومسلم من ذلك قوله صلى الله عليه وآله وسلم لسيدنا علي (امح رسول الله) قال سيدنا علي لا والله لا أمحوك أبدا
ومنها قوله صلى الله عليه وآله وسلم لأبي بكر رضي الله عنه : «ما منعك أن تثبت إذ أمرتك، قال: ما كان لابن أبي قحافة أن يصلي بين يدي رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم.
وما يتناقله الناس من قولهم (لا تسيدوني في الصلاة) فهو موضوع مكذوب مفترى وليس بحديث قال الحافظ السخاوي في المقاصد الحسنة لا أصل له.
وهو لحن أيضا لأنه واوي العين من ساد يسود فالأصح أن تقول (تسودوني.
وهذا ليس من الاختراع في العبادة أو إدخال شيء على الصلاة ليس منها، فإنّ لفظ السيادة لفظٌ شرعيٌّ استخدمه رسول الله صلّى الله عليه وآله وسلّم حينما أخبر أمّته عن نفسه، فقال: (أنا سيّد ولد آدم ولا فخر)، وهذه السيادة ثابتة له، سواءٌ ذكرناها أم لا.
والاختراع في العبادة إنّما يكون بإحدى صورتين:

الاختراع إما أن يكون اختراع عبادة جديدة، أو تغيير صفة عبادة وردت بصفة معينة، فالأول مثل التعبد برفع ورقات إلى الأعلى مثلاً، فهذه ليست عبادة وهذا اختراع، والثاني مثل صلاة الظهر خمس ركعات، أو المغرب ركعتين، فهذا تغيير لصفة عبادة واردة. أما ذكر الله تعالى بصيغة لم ترد فلا يسمّى اختراعا؛ لأنّه داخلٌ ضمن الأمر العام بالذكر
وفي هذا القدر كفاية لمن يقبل الدليل والحمد لله رب العالمين.

Mari Keraskan Dzikir Selepas Sholat Fardhu...!!

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah dengan segala limpahan ni’mat-ni’mat-Nya yang dzhahir maupun yang bathin. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada hamba dan utusan-Nya, Nabi kita yang agung sayyidina Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya juga para pecinta sunnahnya hingga akhir zaman.
Berdzikir dan mengeraskan suara dzikir sesudah sholat fardhu merupakan amalan yang biasa di lakukan oleh kita (khusushnya orang – orang NU)
 Sebagian saudara kita (kaum muslimin) ada yang memandang bahwa dzikir sesudah shalat harus lirih, tidak boleh mengeraskannya karena bisa mengganggu orang di sekitarnya yang juga berdzikir atau mengganggu mereka yang sedang menyelesaikan shalatnya. Sehingga ketika ada diantara kita yang mengeraskan suara dzikir maka mereka mengingkari  dan mengaanggap perbuatan itu adalah BID’AH yang sesat.
Lantas bagaimana sebenarnya tatacara dzikir sesudah shalat yang sesuai sunnah? Apakah disunnahkan mengeraskannya??atau melirihkannya? 
DZIKIR SETELAH SHOLAT merupakan ibadah yang disunnahkan dan salah satu kebiasaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.dan dzikir setelah sholat fardhu juga sunnah di baca dengan suara keras. Karena Rosululloh SAW, juga melakukannya dengan suara keras. Dalam shohih Bukhari dan Muslim disebutkan pada Bab Dzikir setelah sholat, dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata
أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
Sesungguhnya mengeraskan suara dzikir ketika orang-orang usai melaksanakan shalat wajib merupakan kebiasaan yang berlaku pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.” Ibnu Abbas menambahkan, ‘Aku mengetahui mereka selesai shalat dengan itu, apabila aku mendengarnya.
Masih dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:
 كُنْتُ أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّكْبِيرِ
Aku megetahui selesainya shalat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan takbir.” (HR. al-Bukhari)
Hadits-hadits di atas merupakan dalil tentang sunnahnya menjaharkan (mengeraskan) suara dzikir sesudah shalat. Dan ini menjadi bantahan bagi mereka yang mengingkari dan melarangnya.
Ibnu Huzaimah memasukkan hadits di atas dalam kitab Shahih-nya, dan memberinya judul, Bab: Raf’u al-Shaut bi al-Takbiir wa al-Dzikr ‘inda Inqidha’ al-Shalah (Bab: meninggikan (mengeraskan) suara takbir dan dzikir ketika selesai shalat (wajib).. hal ini menunjukkan bahwa beliau berpendapat bahwa boleh mengeraskan takbir dan dzikir sesudah shalat.
Ibnu Daqiq al-‘Id, juga menyatakan hal yang sama, “Dalam hadits ini, terdapat dalil bolehnya mengeraskan dzikir setelah shalat, dan takbir secara khusus termasuk dalam kategori dzikir." (Ihkamul Ahkam Syarah Umdatul Ahkam)
Imam al-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim mengatakan, bahwa hadits ini adalah dalil bagi pendapat sebagian ulama salaf bahwa disunnahkan mengeraskan suara takbir dan dzikir sesudah shalat wajib. Dan di antara ulama muta’akhirin yang menyunahkannya adalah Ibnu Hazm al-Zahiri.
Sedangkan Imam al-Syafi’i rahimahullaah, mema’nai hadits di atas dengan mengatakan, bahwa beliau shallallahu 'alaihi wasallam mengeraskan (dzikir sesudah shalat) hanya dalam waktu sementara saja untuk mengajari mereka tentang sifat dzikir, bukan mengeraskan terus menerus. Imam Syafi’i berpendapat agar imam dan makmum melirihkan dzikir kepada Allah Ta’ala sesudah shalat, kecuali kalau imam ingin agar makmum belajar darinya, maka dia mengeraskan dzikirnya sehingga ia melihat makmum telah belajar darinya, lalu melirihkannya kembali. (Lihat Syarah Shahih Muslim lin Nawawi).
Pendapat Imam Al-Syafi’i rahmatulloh ‘alaih dalam mema’nai hadits ini, juga tidak berarti bahwa sekarang ini tidak boleh mengeraskan suara dzikir secra terus menerus.karena orang yang ada di belakang imam (makmum) tidak semuanya hafal dengan bacaan dzikir setelah sholat,khusushnya mereka calon-calon pemimpin di masa yang akan datang yaitu ANAK-ANAK kita.
Oleh karena itu,jika kita melihat kondisi kita dan ANAK-ANAK kita sekarang ini,maka kita di sunnahkan mengeraskan suara dzikir setelah sholat dengan mengikuti pendapat Imam Al-Syafi’i rohmatulloh ‘alaih ini.
Berikut ini kami sertakan fatwa-fatwa para ulama yang sering di jdikan rujukan oleh orang-orang yang melarang dzikir sesudah shalat dengan suara keras:
 Fatwa Syaikh Utsaimin (‘ulama yang di agungkan orang yang melarang dzikir dgn suara keras)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin pernah ditanya tentang hukum menjaharkan (mengeraskan) dzikir sesudah shalat lima waktu dan bagaimana cara pelaksanaannya?
Beliau menjawab: Bahwa sesungguhnya menjaharkan dzikir sesudah shalat fardhu adalah sunnah. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari hadits Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma menunjukkan sunnah tersebut, bahwa mengeraskan suara dzikir ketika orang-orang selesai melaksanakan shalat fardhu telah ada pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau (Ibnu ‘Abbas) radhiyallahu 'anhuma berkata,
كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
Dan aku tahu apabila mereka telah selesai dari shalat dengan itu, (yaitu) apabila aku mendengarnya.” (Hadits ini juga diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud. Hadits ini adalah salah satu dari hadits-hadits dalam al-‘Umdah).
Dalam Shahihain (Shohih Bukhori dan Muslim), dari hadits al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu 'anhu berkata, Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membaca apabila telah selesai shalat:
لَا إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ
Tidak ada tuhan yang hak kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.” Al-hadits. Dia tidak akan mendengar dzikir ini kecuali jika orang yang berdzikir (Rosuululoh SAW) mengeraskannya.
Ibnu Taimiyah (‘Ulama yang di agungkan orang yang melarang dzikir keras)
para ulama salaf dan khalaf memilih menjaharkan dzikir sesudah shalat berdasarkan hadits Ibnu Abbas dan al-Mughirah radhiyallahu 'anhum. Dan mengeraskan bacaan dzikir sesudah shalat disyari’atkan baik saat membaca tahlil, tasbih, takbir, ataupun tahmid berdasarkan keumuman hadits Ibnu Abbas. Tidak didapatkan keterangan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang membedakan antara tahlil dan selainnya. Bahkan di dalam hadits Ibnu Abbas, mereka mengetahui selesainya shalat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan takbir. Dengan ini terbantahkan pendapat orang bahwa tidak boleh jahar (keras) dalam membaca tasbih, tahmid, dan takbir.
Adapun orang yang berkata bahwa menjaharkan bacaan dzikir sesudah shalat adalah bid’ah, sungguh dia telah salah. Bagaimana sesuatu yang biasa dilaksanakan pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam disebut bid’ah?!
Syaikh Sulaiman bin Sahman rahimahullaah berkata, “Hal itu ditetapkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dari perbuatan dan taqrirnya. Para sahabat melaksanakan hal itu pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam setelah beliau mengajarkannya kepada mereka. Beliau menyetujui mereka atas hal itu sehingga mereka mengetahuinya dengan pengajaran Rasul shallallahu 'alaihi wasallam kepada mereka. Mereka melaksanakan dan beliau menyetujui mereka di atas perbuatan tersebut setelah mengetahuinya, beliau tidak mencela mereka.”
Adapun alasan mengingkari dzikir jahar dengan firman Allah Ta’ala,
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ
Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang,” (QS. Al-A’raf: 205).

Maka kita jawab:
Sesungguhnya Dzat yang memerintahkan menyebut nama Rabbnya (dzikir) dalam hati dengan merendahkan diri dan rasa takut, adalah yang memerinthakan untuk menjaharkan dzikir sesudah shalat wajib. Apakah orang yang melarang tersebut lebih mengetahui maksud Allah Ta’ala daripada Rasul-Nya? Atau ia meyakini bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengetahui maksud Allah tapi beliau menyelisihinya.
Imam Ibnu katsir rahimahullaah dalam tafsirnya memahami makna jahar (keras) di sini dengan terlalu keras (berteriak-teriak).
Adapun yang mengingkari dzikir jahar ini dengan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, “Wahai manusia kasihanilah diri kalian, karena kalian tidaklah berdoa kepada Dzat yang tuli…! (sampai akhir hadits)”. Maka bisa dijawab dengan mengatakan: Sesungguhnya orang yang menyabdakan hal itu, beliau juga yang dulunya mengeraskan dzikir setelah shalat wajib ini. Itu berarti, tuntunan ini punya tempat sendiri, sedangkan yang itu juga ada tempatnya sendiri. Dan sempurnanya mengikuti sunnah beliau adalah dengan menempatkan semua nash yang ada, pada tempatnya masing-masing.
Kemudian ungkapan dalam sabdanya, “Kasihanilah diri kalian,” menunjukkan bahwa para sahabat terlalu meninggikan suaranya sehingga menyakitkan dan memberatkan mereka. Karena sebab inilah beliau bersabda, “Kasihanilah diri kalian.” Maksudnya, berlemahlembutlah terhadap diri kalian dan jangan terlalu membebani diri kalian. Sedangkan menjaharkan dzikir sesudah shalat bukan termasuk kesulitan dan membebani.
Adapun orang yang mengatakan bahwa amalan itu bisa mengganggu orang lain, maka bisa dijawab dengan mengatakan padanya: Jika maksudmu akan mengganggu orang yang tidak biasa dengan hal itu, maka seorang mukmin jika sudah ada kejelasan bahwa hal itu merupakan sunnah, maka hal  (gangguan) itu akan hilang (dengan sendirinya). Jika maksudmu akan mengganggu jamaah lain yang masih shalat, maka jika jamaah tidak ada yang masbuq (terlambat) maka mengeraskan suara tersebut tidak akan mengganggu mereka sebagaimana fakta di lapangan, karena mereka sama-sama mengeraskan dzikirnya. Jika ada yang masbuq dan sedang menyelasaikan shalatnya, jika ia dekat denganmu sehingga bisa mengganggunya, maka jangan keraskan suara dzikir dengan tingkatan suara yang bisa mengganggunya, agar kamu tidak mengganggu shalatnya. Sedang jika ia jauh darimu, maka ia tak akan terganggu oleh suara keras dzikirmu yang keras.
Berdasarkan keterangan yang kami sebutkan, menjadi jelas bahwa mengeraskan dzikir setelah shalat wajib adalah sunnah. Hal itu sama sekali tidak bertentangan dengan nash yang shahih  maupun dengan penalaran yang jelas. Saya memohon kepada Allah Ta’ala agar menganugerahkan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih kepada kita semua. sesungguhnya ia maha dekat lagi maha mengabulkan doa. (Fatawa wa Rasail Ibni Utaimin, jilid 13)

Syeikh Ibnu Bazz (‘Ulama yang di agungkan orang-orang yang melarang dzikir keras)
pernah ditanya tentang sunnah dzikir sesudah shalat, mana yang sesuai sunnah, mengeraskan dzikir atau melirihkannya?
Beliau menjawab: Yang sunnah adalah menjaharkan dzikir sesudah shalat lima waktu dan sesudah shalat Jum’at ba’da salam. Hal itu didasarkan hadits dalam Shahihain, dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma bahwa mengeraskan suara dzikir sesudah manusia selesai melaksanakan shalat wajib sudah ada pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Ibnu Abbas berkata, “Aku mengetahui kalau mereka sudah selesai shalat apabila aku mendengarnya.” (Kumpulan pertanyaan yang ditujukan kepada Syaikh Ibnu Bazz oleh Muhammad al-Syayi’)
Dalam Jawaban lain, beliau berkata: “Telah disebutkan dalam kitab shahihain, dari riwayatnya Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, “Sesungguhnya mengeraskan dzikir saat selesai dari shalat wajib, itu telah ada di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam“. Ibnu Abbas juga mengatakan: “Aku tahu selesainya shalat mereka itu, saat aku mendengar (suara dzikir) itu.”
Hadits shahih ini dan hadits-hadits semakna lainnya yang berasal dari hadits Ibnu Zubair, dan Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu 'anhuma dan lainnya, semuanya menunjukkan disyariatkannya mengeraskan dzikir ketika orang-orang selesai shalat wajib, yang kira-kira sampai terdengar oleh orang-orang yang berada di pintu-pintu dan di sekitar masjid, sehingga mereka tahu selesainya shalat (jama’ah) dengan (kerasnya suara dzikir) itu. (Tapi) bagi orang yang didekatnya ada orang lain yang sedang menyelesaikan shalatnya, maka sebaiknya ia memelankan sedikit suaranya, agar tidak mengganggu mereka, karena adanya dalil-dalil lain yang menerangkan hal itu. Dalam tuntunan mengeraskan dzikir ketika para jamaah selesai shalat wajib ini, ada banyak manfaat, diantaranya: 1. Menampakkan pujian kepada Allah Ta’ala yang telah memberikan mereka kenikmatan bisa menjalankan kewajiban yang agung ini. 2. Dan (Sebagai sarana untuk) mengajari orang yang jahil dan mengingatkan orang yang lupa. Jika saja tidak ada hal itu, tentunya sunnah ini akan jadi samar bagi banyak orang. Wallahu waliyyut taufiq.
Syaikh Shalih al-Fauzan (‘Ulama yang di agungkan orang yang melarang dzikir keras)
Beliau ditanya tentang menjaharkan doa dan dzikir secara umum, dan sesudah shalat secara khusus? Apakah doa dan dzikir itu dengan keras, lirih, atau di antara keduanya?
Beliau menjawab, “Doa yang dicontohkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan yang disyari’atkan, seseorang diberi pilihan antara menjaharkannya atau melirihkannya. Allah Ta’ala berfirman,
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.” (QS. Al-a’raf: 55) Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui yang lirih dan tersembunyi. Engkau boleh berdoa dengan keras dan lirih, kecuali apabila menjaharkannya bisa mengganggu orang disekitarmu; yang tidur, shalat, atau yang sedang membaca Al-Qur’an al-Karim, maka engkau harus melirihkan suaramu. Atau apabila kamu takut tumbuh riya’ dan sum’ah dalam dirimu, maka engkau lirihkan suaramu dalam berdoa, karena hal ini lebih bisa menjadikan ikhlas..
Fatwa Lajnah Daimah(kumpulan fatwa-fatwa dari kalangan wahhaby)
Disyariatkan untuk mengeraskan dzikir setelah shalat wajib, karena adanya keterangan yang shahih dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu, (ia mengatakan): “Sesungguhnya mengeraskan dzikir saat selesai dari shalat wajib, itu telah ada di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam “. Ibnu Abbas juga mengatakan: “Aku tahu selesainya shalat mereka itu, saat ku dengar (suara dzikir) itu”.
(Mengeraskan dzikir setelah shalat wajib tetap disunnahkan), meski ada orang-orang yang masih menyelesaikan shalatnya, baik mereka itu (menyelesaikan shalatnya secara) sendiri-sendiri atau dengan berjama’ah. Dan hal itu (yakni mengeraskan dzikir) disyariatkan pada semua shalat wajib yang lima waktu.
Wallahu  a’lamu bisshowab.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates