Alhamdulillah, segala puji bagi Allah dengan segala limpahan ni’mat-ni’mat-Nya yang dzhahir maupun yang bathin. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada hamba dan utusan-Nya, Nabi kita yang agung sayyidina Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya juga para pecinta sunnahnya hingga akhir zaman.
Berdzikir dan mengeraskan suara dzikir sesudah sholat fardhu merupakan amalan yang biasa di lakukan oleh kita (khusushnya orang – orang NU)
Sebagian saudara kita (kaum muslimin) ada yang memandang bahwa dzikir sesudah shalat harus lirih, tidak boleh mengeraskannya karena bisa mengganggu orang di sekitarnya yang juga berdzikir atau mengganggu mereka yang sedang menyelesaikan shalatnya. Sehingga ketika ada diantara kita yang mengeraskan suara dzikir maka mereka mengingkari dan mengaanggap perbuatan itu adalah BID’AH yang sesat.
Lantas bagaimana sebenarnya tatacara dzikir sesudah shalat yang sesuai sunnah? Apakah disunnahkan mengeraskannya??atau melirihkannya?
DZIKIR SETELAH SHOLAT merupakan ibadah yang disunnahkan dan salah satu kebiasaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.dan dzikir setelah sholat fardhu juga sunnah di baca dengan suara keras. Karena Rosululloh SAW, juga melakukannya dengan suara keras. Dalam shohih Bukhari dan Muslim disebutkan pada Bab Dzikir setelah sholat, dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata
أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
“Sesungguhnya mengeraskan suara dzikir ketika orang-orang usai melaksanakan shalat wajib merupakan kebiasaan yang berlaku pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.” Ibnu Abbas menambahkan, ‘Aku mengetahui mereka selesai shalat dengan itu, apabila aku mendengarnya.”
Masih dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:
كُنْتُ أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّكْبِيرِ
“Aku megetahui selesainya shalat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan takbir.” (HR. al-Bukhari)
Hadits-hadits di atas merupakan dalil tentang sunnahnya menjaharkan (mengeraskan) suara dzikir sesudah shalat. Dan ini menjadi bantahan bagi mereka yang mengingkari dan melarangnya.
Ibnu Huzaimah memasukkan hadits di atas dalam kitab Shahih-nya, dan memberinya judul, Bab: Raf’u al-Shaut bi al-Takbiir wa al-Dzikr ‘inda Inqidha’ al-Shalah (Bab: meninggikan (mengeraskan) suara takbir dan dzikir ketika selesai shalat (wajib).. hal ini menunjukkan bahwa beliau berpendapat bahwa boleh mengeraskan takbir dan dzikir sesudah shalat.
Ibnu Daqiq al-‘Id, juga menyatakan hal yang sama, “Dalam hadits ini, terdapat dalil bolehnya mengeraskan dzikir setelah shalat, dan takbir secara khusus termasuk dalam kategori dzikir." (Ihkamul Ahkam Syarah Umdatul Ahkam)
Imam al-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim mengatakan, bahwa hadits ini adalah dalil bagi pendapat sebagian ulama salaf bahwa disunnahkan mengeraskan suara takbir dan dzikir sesudah shalat wajib. Dan di antara ulama muta’akhirin yang menyunahkannya adalah Ibnu Hazm al-Zahiri.
Sedangkan Imam al-Syafi’i rahimahullaah, mema’nai hadits di atas dengan mengatakan, bahwa beliau shallallahu 'alaihi wasallam mengeraskan (dzikir sesudah shalat) hanya dalam waktu sementara saja untuk mengajari mereka tentang sifat dzikir, bukan mengeraskan terus menerus. Imam Syafi’i berpendapat agar imam dan makmum melirihkan dzikir kepada Allah Ta’ala sesudah shalat, kecuali kalau imam ingin agar makmum belajar darinya, maka dia mengeraskan dzikirnya sehingga ia melihat makmum telah belajar darinya, lalu melirihkannya kembali. (Lihat Syarah Shahih Muslim lin Nawawi).
Pendapat Imam Al-Syafi’i rahmatulloh ‘alaih dalam mema’nai hadits ini, juga tidak berarti bahwa sekarang ini tidak boleh mengeraskan suara dzikir secra terus menerus.karena orang yang ada di belakang imam (makmum) tidak semuanya hafal dengan bacaan dzikir setelah sholat,khusushnya mereka calon-calon pemimpin di masa yang akan datang yaitu ANAK-ANAK kita.
Oleh karena itu,jika kita melihat kondisi kita dan ANAK-ANAK kita sekarang ini,maka kita di sunnahkan mengeraskan suara dzikir setelah sholat dengan mengikuti pendapat Imam Al-Syafi’i rohmatulloh ‘alaih ini.
Berikut ini kami sertakan fatwa-fatwa para ulama yang sering di jdikan rujukan oleh orang-orang yang melarang dzikir sesudah shalat dengan suara keras:
Fatwa Syaikh Utsaimin (‘ulama yang di agungkan orang yang melarang dzikir dgn suara keras)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin pernah ditanya tentang hukum menjaharkan (mengeraskan) dzikir sesudah shalat lima waktu dan bagaimana cara pelaksanaannya?
Beliau menjawab: Bahwa sesungguhnya menjaharkan dzikir sesudah shalat fardhu adalah sunnah. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari hadits Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma menunjukkan sunnah tersebut, bahwa mengeraskan suara dzikir ketika orang-orang selesai melaksanakan shalat fardhu telah ada pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau (Ibnu ‘Abbas) radhiyallahu 'anhuma berkata,
كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
“Dan aku tahu apabila mereka telah selesai dari shalat dengan itu, (yaitu) apabila aku mendengarnya.” (Hadits ini juga diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud. Hadits ini adalah salah satu dari hadits-hadits dalam al-‘Umdah).
Dalam Shahihain (Shohih Bukhori dan Muslim), dari hadits al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu 'anhu berkata, Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membaca apabila telah selesai shalat:
لَا إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ
“Tidak ada tuhan yang hak kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.” Al-hadits. Dia tidak akan mendengar dzikir ini kecuali jika orang yang berdzikir (Rosuululoh SAW) mengeraskannya.
Ibnu Taimiyah (‘Ulama yang di agungkan orang yang melarang dzikir keras)
para ulama salaf dan khalaf memilih menjaharkan dzikir sesudah shalat berdasarkan hadits Ibnu Abbas dan al-Mughirah radhiyallahu 'anhum. Dan mengeraskan bacaan dzikir sesudah shalat disyari’atkan baik saat membaca tahlil, tasbih, takbir, ataupun tahmid berdasarkan keumuman hadits Ibnu Abbas. Tidak didapatkan keterangan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang membedakan antara tahlil dan selainnya. Bahkan di dalam hadits Ibnu Abbas, mereka mengetahui selesainya shalat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan takbir. Dengan ini terbantahkan pendapat orang bahwa tidak boleh jahar (keras) dalam membaca tasbih, tahmid, dan takbir.
Adapun orang yang berkata bahwa menjaharkan bacaan dzikir sesudah shalat adalah bid’ah, sungguh dia telah salah. Bagaimana sesuatu yang biasa dilaksanakan pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam disebut bid’ah?!
Syaikh Sulaiman bin Sahman rahimahullaah berkata, “Hal itu ditetapkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dari perbuatan dan taqrirnya. Para sahabat melaksanakan hal itu pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam setelah beliau mengajarkannya kepada mereka. Beliau menyetujui mereka atas hal itu sehingga mereka mengetahuinya dengan pengajaran Rasul shallallahu 'alaihi wasallam kepada mereka. Mereka melaksanakan dan beliau menyetujui mereka di atas perbuatan tersebut setelah mengetahuinya, beliau tidak mencela mereka.”
Adapun alasan mengingkari dzikir jahar dengan firman Allah Ta’ala,
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang,” (QS. Al-A’raf: 205).
Maka kita jawab:
Sesungguhnya Dzat yang memerintahkan menyebut nama Rabbnya (dzikir) dalam hati dengan merendahkan diri dan rasa takut, adalah yang memerinthakan untuk menjaharkan dzikir sesudah shalat wajib. Apakah orang yang melarang tersebut lebih mengetahui maksud Allah Ta’ala daripada Rasul-Nya? Atau ia meyakini bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengetahui maksud Allah tapi beliau menyelisihinya.
Imam Ibnu katsir rahimahullaah dalam tafsirnya memahami makna jahar (keras) di sini dengan terlalu keras (berteriak-teriak).
Adapun yang mengingkari dzikir jahar ini dengan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, “Wahai manusia kasihanilah diri kalian, karena kalian tidaklah berdoa kepada Dzat yang tuli…! (sampai akhir hadits)”. Maka bisa dijawab dengan mengatakan: Sesungguhnya orang yang menyabdakan hal itu, beliau juga yang dulunya mengeraskan dzikir setelah shalat wajib ini. Itu berarti, tuntunan ini punya tempat sendiri, sedangkan yang itu juga ada tempatnya sendiri. Dan sempurnanya mengikuti sunnah beliau adalah dengan menempatkan semua nash yang ada, pada tempatnya masing-masing.
Kemudian ungkapan dalam sabdanya, “Kasihanilah diri kalian,” menunjukkan bahwa para sahabat terlalu meninggikan suaranya sehingga menyakitkan dan memberatkan mereka. Karena sebab inilah beliau bersabda, “Kasihanilah diri kalian.” Maksudnya, berlemahlembutlah terhadap diri kalian dan jangan terlalu membebani diri kalian. Sedangkan menjaharkan dzikir sesudah shalat bukan termasuk kesulitan dan membebani.
Adapun orang yang mengatakan bahwa amalan itu bisa mengganggu orang lain, maka bisa dijawab dengan mengatakan padanya: Jika maksudmu akan mengganggu orang yang tidak biasa dengan hal itu, maka seorang mukmin jika sudah ada kejelasan bahwa hal itu merupakan sunnah, maka hal (gangguan) itu akan hilang (dengan sendirinya). Jika maksudmu akan mengganggu jamaah lain yang masih shalat, maka jika jamaah tidak ada yang masbuq (terlambat) maka mengeraskan suara tersebut tidak akan mengganggu mereka sebagaimana fakta di lapangan, karena mereka sama-sama mengeraskan dzikirnya. Jika ada yang masbuq dan sedang menyelasaikan shalatnya, jika ia dekat denganmu sehingga bisa mengganggunya, maka jangan keraskan suara dzikir dengan tingkatan suara yang bisa mengganggunya, agar kamu tidak mengganggu shalatnya. Sedang jika ia jauh darimu, maka ia tak akan terganggu oleh suara keras dzikirmu yang keras.
Berdasarkan keterangan yang kami sebutkan, menjadi jelas bahwa mengeraskan dzikir setelah shalat wajib adalah sunnah. Hal itu sama sekali tidak bertentangan dengan nash yang shahih maupun dengan penalaran yang jelas. Saya memohon kepada Allah Ta’ala agar menganugerahkan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih kepada kita semua. sesungguhnya ia maha dekat lagi maha mengabulkan doa. (Fatawa wa Rasail Ibni Utaimin, jilid 13)
Syeikh Ibnu Bazz (‘Ulama yang di agungkan orang-orang yang melarang dzikir keras)
pernah ditanya tentang sunnah dzikir sesudah shalat, mana yang sesuai sunnah, mengeraskan dzikir atau melirihkannya?
Beliau menjawab: Yang sunnah adalah menjaharkan dzikir sesudah shalat lima waktu dan sesudah shalat Jum’at ba’da salam. Hal itu didasarkan hadits dalam Shahihain, dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma bahwa mengeraskan suara dzikir sesudah manusia selesai melaksanakan shalat wajib sudah ada pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Ibnu Abbas berkata, “Aku mengetahui kalau mereka sudah selesai shalat apabila aku mendengarnya.” (Kumpulan pertanyaan yang ditujukan kepada Syaikh Ibnu Bazz oleh Muhammad al-Syayi’)
Dalam Jawaban lain, beliau berkata: “Telah disebutkan dalam kitab shahihain, dari riwayatnya Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, “Sesungguhnya mengeraskan dzikir saat selesai dari shalat wajib, itu telah ada di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam“. Ibnu Abbas juga mengatakan: “Aku tahu selesainya shalat mereka itu, saat aku mendengar (suara dzikir) itu.”
Hadits shahih ini dan hadits-hadits semakna lainnya yang berasal dari hadits Ibnu Zubair, dan Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu 'anhuma dan lainnya, semuanya menunjukkan disyariatkannya mengeraskan dzikir ketika orang-orang selesai shalat wajib, yang kira-kira sampai terdengar oleh orang-orang yang berada di pintu-pintu dan di sekitar masjid, sehingga mereka tahu selesainya shalat (jama’ah) dengan (kerasnya suara dzikir) itu. (Tapi) bagi orang yang didekatnya ada orang lain yang sedang menyelesaikan shalatnya, maka sebaiknya ia memelankan sedikit suaranya, agar tidak mengganggu mereka, karena adanya dalil-dalil lain yang menerangkan hal itu. Dalam tuntunan mengeraskan dzikir ketika para jamaah selesai shalat wajib ini, ada banyak manfaat, diantaranya: 1. Menampakkan pujian kepada Allah Ta’ala yang telah memberikan mereka kenikmatan bisa menjalankan kewajiban yang agung ini. 2. Dan (Sebagai sarana untuk) mengajari orang yang jahil dan mengingatkan orang yang lupa. Jika saja tidak ada hal itu, tentunya sunnah ini akan jadi samar bagi banyak orang. Wallahu waliyyut taufiq.
Syaikh Shalih al-Fauzan (‘Ulama yang di agungkan orang yang melarang dzikir keras)
Beliau ditanya tentang menjaharkan doa dan dzikir secara umum, dan sesudah shalat secara khusus? Apakah doa dan dzikir itu dengan keras, lirih, atau di antara keduanya?
Beliau menjawab, “Doa yang dicontohkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan yang disyari’atkan, seseorang diberi pilihan antara menjaharkannya atau melirihkannya. Allah Ta’ala berfirman,
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.” (QS. Al-a’raf: 55) Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui yang lirih dan tersembunyi. Engkau boleh berdoa dengan keras dan lirih, kecuali apabila menjaharkannya bisa mengganggu orang disekitarmu; yang tidur, shalat, atau yang sedang membaca Al-Qur’an al-Karim, maka engkau harus melirihkan suaramu. Atau apabila kamu takut tumbuh riya’ dan sum’ah dalam dirimu, maka engkau lirihkan suaramu dalam berdoa, karena hal ini lebih bisa menjadikan ikhlas..
Fatwa Lajnah Daimah(kumpulan fatwa-fatwa dari kalangan wahhaby)
Disyariatkan untuk mengeraskan dzikir setelah shalat wajib, karena adanya keterangan yang shahih dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu, (ia mengatakan): “Sesungguhnya mengeraskan dzikir saat selesai dari shalat wajib, itu telah ada di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam “. Ibnu Abbas juga mengatakan: “Aku tahu selesainya shalat mereka itu, saat ku dengar (suara dzikir) itu”.
(Mengeraskan dzikir setelah shalat wajib tetap disunnahkan), meski ada orang-orang yang masih menyelesaikan shalatnya, baik mereka itu (menyelesaikan shalatnya secara) sendiri-sendiri atau dengan berjama’ah. Dan hal itu (yakni mengeraskan dzikir) disyariatkan pada semua shalat wajib yang lima waktu.
Wallahu a’lamu bisshowab.
0 komentar:
Posting Komentar